Saya Sebel Banget Film Musikal, Kecuali Aladdin

film musikal


Saya ini penggila musik dan penggemar film. Tapi saya sebel banget nonton film musikal. Ada sesuatu yang bikin saya merasa tidak nyaman saat melihat karakter film yang lagi asyik ngobrol tiba-tiba berhenti, lalu mulai nyanyi sambil menari di tengah jalan. Rasanya seperti ada kabel yang korslet di otak saya karena logika ceritanya mendadak hilang. 


Saya bukan benci musiknya, ya. Saya cuma merasa musik dan film itu punya tempatnya masing-masing. Musik itu buat didengarkan lewat headphone atau speaker sambil santai, sedangkan film itu buat dinikmati visual dan ceritanya. Pas keduanya digabung jadi film musikal, buat saya malah jadi berantakan.


Masalah Rasa dan Logika 


Alasan utama saya susah banget menikmati genre ini sebenarnya sederhana: saya merasa canggung. Lagi ada adegan sedih atau tegang, eh tiba-tiba tokoh utamanya malah ambil nada tinggi. Bukannya terharu, saya malah jadi berpikir, "Kok orang-orang di sekitarnya diam saja melihat dia nyanyi?" atau "Itu musik pengiringnya datang dari mana?". Hal-hal kecil begini yang bikin saya susah buat masuk ke dalam dunia filmnya.


Kebanyakan film musikal punya pola yang sama. Mereka terlalu fokus sama koreografi dan vokal sampai kadang lupa memperdalam karakter. Saya lebih suka film yang emosinya disampaikan lewat akting, tatapan mata, atau bahkan keheningan. 


Keheningan di film itu mahalnya luar biasa, lho. Tapi di film musikal, keheningan itu hampir tidak ada karena setiap celah harus diisi sama lagu. Buat saya yang suka sinematografi bersih, ini rasanya seperti rumah yang terlalu penuh sama barang-barang tidak perlu. 


Aladdin yang Mengubah Segalanya 


Nah, di tengah rasa benci saya yang sudah mendarah daging itu, muncul Aladdin versi live-action tahun 2019. Awalnya saya malas nonton, tapi karena diajak teman, akhirnya saya berangkat juga ke bioskop. 


aladdin 2019


Ternyata, saya salah besar. Film ini jadi satu-satunya pengecualian yang bisa saya tonton dari awal sampai habis tanpa rasa pengin cepat-cepat keluar. Bahkan saya tidak keberatan menonton lagi di TV atau lewat streaming.

Mungkin karena Guy Ritchie yang jadi sutradaranya, jadi auranya tidak terlalu "teater banget". Musiknya terasa punya nyawa yang lebih modern.


Terutama karakter Jin yang diperankan Will Smith. Dia tidak cuma nyanyi, tapi ada unsur komedinya yang pas. Itu tidak terasa seperti film musikal yang membosankan, tapi lebih seperti pesta besar yang memang masuk akal terjadi di dunia fantasi seperti Agrabah. Transisi dari dialog ke lagunya tidak bikin saya kaget atau merasa aneh, semuanya mengalir begitu saja.


Kekuatan Karakter di Balik Lagu 


Saya juga harus angkat jempol buat Naomi Scott. Lagu "Speechless" di film itu benar-benar beda kelas. Karena lagunya punya fungsi yang jelas buat cerita. Itu bukan cuma sekadar pamer suara, tapi itu momen Jasmine menunjukkan keberaniannya.



Ini poin pentingnya. Sebuah lagu dalam film harusnya bisa menggerakkan cerita, bukan cuma jadi hiasan.

Di Aladdin, setiap lagunya bikin plotnya maju. Visualnya juga sangat memanjakan mata, penuh warna dan energi yang bikin saya lupa kalau saya sebenarnya tidak suka genre ini. Mungkin kalau semua film musikal dibuat dengan pendekatan seperti ini, saya tidak akan sebenci itu sama genre musikal.


Tetap Pilih-Pilih Soal Film


Meskipun saya suka Aladdin, bukan berarti besok saya bakal langsung maraton film-film musikal klasik lainnya. Saya tetap orang yang sama.


Buat saya, selera itu memang tidak bisa dipaksakan. Ada orang yang bisa menangis haru pas nonton orang nyanyi di tengah hujan, dan ada orang seperti saya yang malah sibuk mikirin kapan orang itu bakal kena flu kalau nyanyi kelamaan sambil hujan-hujanan. Itu tidak masalah, karena setiap orang punya cara sendiri buat menikmati seni.


Menikmati Seni Tanpa Beban


Pada akhirnya, saya belajar kalau kita tidak perlu menyukai semua hal cuma karena itu lagi populer. Saya tetap bangga jadi pecinta musik dan film, yang benci film musikal. Pengecualian seperti Aladdin itu cuma pengingat kalau sesekali, keluar dari zona nyaman itu seru juga, asal kita ketemu karya yang memang dieksekusi dengan benar dan punya jiwa.


Bagaimana dengan kamu? Apa ada genre film yang kamu benci setengah mati tapi punya satu pengecualian yang kamu suka?


Saya yakin pasti ada satu atau dua film yang bikin prinsip kamu goyah sedikit. Karena itulah indahnya film, kadang dia bisa mengejutkan kita di saat kita merasa sudah tahu segalanya tentang selera kita sendiri. (*)

Lebih baru Lebih lama