Skenario Menarik Bila Seandainya Ngotot Untuk Membayar Secara Tunai

bayar tunai

Belakangan ini viral kasus nenek yang mau beli roti pakai uang tunai tapi ditolak gara-gara tokonya cuma mau terima pembayaran cashless. Kejadian ini bikin muncul satu skenario menarik.

Gimana kalau saya makan di restoran, saya punya uang tunai dan mau bayar pakai itu, tapi mereka menolak dan minta non-tunai? Terus, saya nekat taruh uangnya di kasir sesuai jumlah tagihan, lalu jalan keluar sambil bilang, "Kalau nggak suka uang saya, tuntut saja."

Kira-kira kalau drama ini sampai ke meja hijau, siapa yang bakal menang menurut hukum di Indonesia? Masalah ini seru karena menggabungkan hukum pidana mata uang dan hukum perdata soal perjanjian. Ini analisis lengkapnya:

Fondasi Hukum: Uang Tunai Masih "Raja" di Indonesia

Poin pertama yang harus dicamkan: Rupiah tunai, baik kertas maupun logam, adalah alat pembayaran sah yang wajib diterima di mana pun di wilayah Indonesia. Ini bukan sekadar kebijakan toko atau soal selera pemilik bisnis, tapi perintah undang-undang.

Pasal 23 ayat (1) UU Mata Uang menyebutkan kalau setiap orang dilarang menolak Rupiah yang diserahkan sebagai pembayaran atau untuk menyelesaikan kewajiban, kecuali ada keraguan soal keaslian uangnya. 

Satu-satunya alasan yang dibolehkan cuma kalau uangnya diduga palsu. Alasan seperti "nggak ada kembalian", "biar praktis", atau "kebijakan manajemen" itu nggak laku di mata hukum.

Sisi Pidana: Restoran Malah Bisa Kena Sanksi

Kalau dibawa ke jalur pidana, justru pihak restoran yang posisinya bahaya. Pasal 33 ayat (2) UU Mata Uang mengatur bahwa siapapun yang menolak Rupiah bisa kena kurungan maksimal 1 tahun dan denda paling banyak Rp200 juta.

Pihak Bank Indonesia pun lewat Direktur Eksekutifnya, Ramdan Denny, sudah menegaskan kalau menolak pembayaran tunai itu pelanggaran hukum. Jadi, kalau ada laporan polisi, pihak resto yang harus tanggung jawab, bukan kamu yang sudah bayar pakai uang sah.

Sisi Perdata: Kamu Sudah Melunasi Kewajiban

Secara hukum perdata, saat kamu menaruh uang di meja kasir sesuai tagihan, kamu sudah melakukan apa yang disebut penawaran pembayaran (aanbieding). Ini langkah sah untuk memenuhi kewajiban kamu sebagai pembeli.

Dalam perdata Indonesia, kalau si penerima (kreditur) menolak pembayaran yang sah, si pembayar (debitur) bisa menitipkan pembayaran itu. Karena kamu pakai Rupiah yang sah secara hukum, penolakan resto itu sebenarnya sudah melanggar aturan.

Siapa yang Menang di Pengadilan?


Skenario 1: Restoran menggugat kamu

Kamu yang akan menang. Alasannya:

  1. Sudah Bayar: Kamu sudah menyerahkan uang sah senilai tagihan.
  2. Resto Melanggar UU: Penolakan mereka itu ilegal menurut Pasal 23 UU Mata Uang.
  3. Buktinya Mana? Kecuali resto bisa buktikan uang kamu palsu, mereka nggak punya dasar hukum buat menolak.
  4. Perbuatan Melawan Hukum (PMH): Menolak pembayaran sah itu termasuk PMH. Kamu bahkan bisa balik menuntut mereka.

Skenario 2: Kamu yang menggugat restoran

Kamu tetap menang karena resto sudah melanggar UU Mata Uang dan Pasal 1365 KUH Perdata tentang PMH. Kamu bisa menuntut ganti rugi atas ketidaknyamanan atau kalau nama baikmu rusak gara-gara keributan di depan umum.

Kesimpulan Akhir

Dalam skenario "taruh uang lalu pergi", posisi kamu secara hukum sangat kuat. Kamu bukan sedang kabur atau tidak bertanggung jawab. Justru kamu sudah:

  • Melunasi kewajiban dengan alat tukar yang diakui negara.
  • Menunjukkan niat bayar yang jelas secara eksplisit.
  • Pihak resto-lah yang melanggar hukum karena sok-sokan menolak mata uang resmi.

Pengadilan bakal melihat kamu sebagai konsumen yang taat aturan, sementara resto bakal dianggap melanggar kewajiban hukumnya.

Catatan Tambahan: Ini berlaku kalau uangmu asli dan kondisinya layak. Kalau kamu bayar pakai koin sekarung atau uang yang sudah rusak parah sampai sulit dicek aslinya, resto mungkin punya celah buat menolak. Tapi untuk uang normal mereka wajib terima. (*)

Lebih baru Lebih lama