Stop Salahkan Game! Mari Fokus pada Kesehatan Mental & Lingkungan Sosial

anak depresi

Setiap kali ada berita mengerikan tentang penembakan massal di sekolah-sekolah Amerika, atau insiden ledakan di SMAN 72 Kelapa Gading yang baru-baru ini terjadi, reaksi pertama yang sering saya dengar selalu sama: "Pasti gara-gara game online, nih!" atau, "Film-film itu meracuni otak anak-anak!"

 

Maaf, saya tidak setuju. Pendapat itu terasa seperti jalan pintas yang nyaman. Kita berusaha keras menemukan objek eksternal yang bisa kita tunjuk, kita salahkan, lalu kita larang. Seolah-olah, masalahnya akan selesai jika semua video game dan film laga di dunia ini hilang besok pagi. Kalau memang game atau film kekerasan itu pemicu tunggal, dunia kita pasti sudah jadi medan perang total sejak dulu.

 

Kenapa Menyalahkan Game adalah Solusi Malas

 

Saya kenal banyak orang, dari berbagai latar belakang, yang tumbuh besar dengan game berlabel dewasa, dari genre shooter hingga yang paling brutal. Saya sendiri sering bermain game agresif untuk melepas penat.

 

Faktanya mereka semua adalah orang yang berfungsi normal, dan tidak pernah sekalipun punya keinginan untuk meledakkan sesuatu di area publik. Mereka bisa membedakan antara fiksi di layar dan kenyataan di luar layar.

 

Menarik kesimpulan bahwa "Game X menyebabkan tragedi Y" adalah hal yang sangat prematur. Kita mengambil jalan pintas dengan menyalahkan teknologi atau hiburan, tapi mengabaikan masalah utamanya, kondisi psikologis dan sosial si pelaku.

 

Penyebab kekerasan ekstrem jauh lebih kompleks dan berlapis. Ini melibatkan krisis identitas, kesehatan mental yang terganggu, dan akumulasi trauma yang tidak tertangani. Video game atau film, paling banter, hanyalah latar belakang, bukan mesin pemicu.

 

Fokus Kita Seharusnya Ada di “Dunia Nyata” Pelaku

 

Masalah krusial yang harus kita hadapi bukan ada di label usia pada game yang mereka mainkan, melainkan pada sinyal-sinyal bahaya yang sudah lama berteriak tapi diabaikan.

 

Coba kita cermati profil pelaku-pelaku kekerasan ini. Seringkali, ada pola yang muncul: isolasi sosial ekstrem, menjadi target bully berat yang berkepanjangan, atau mengalami gangguan emosional serius.

 

Mungkin ada perilaku yang menyendiri, menarik diri dari pergaulan, atau mulai mem-posting konten online yang berbau ideologi kebencian atau fantasi kekerasan, seperti postingan bertema "lahir untuk membunuh".

 

Di sinilah tanggung jawab pribadi berperan.

 

Orang tua, keluarga, teman, dan guru, punya peran penting sebagai garis pertahanan pertama. Tugasnya bukan menyensor hiburan mereka, tapi menyaring kesehatan mental mereka. Apakah seseorang yang sudah jelas-jelas rapuh, depresi, atau penuh amarah, harusnya dibiarkan saja mengonsumsi konten agresif tanpa diawasi dan didampingi? Tentu saja tidak.

 

Jika ada yang mulai menunjukkan perubahan sikap drastis misalnya, tadinya periang lalu tiba-tiba murung, menarik diri, dan mulai mengunggah posting ekstrem secara online, itu adalah red flag yang memerlukan intervensi, bukan penilaian sepele.

 

Tanggung Jawab Pribadi dan Lingkungan

 

Kita harus berhenti bertingkah seolah kekerasan adalah produk impor dunia digital. Kekerasan adalah produk dari kondisi psikologis dan kegagalan sistem sosial untuk menangkap orang-orang yang jatuh.

 

Orang tua perlu hadir, bukan hanya secara fisik, tapi secara emosional. Mereka harus tahu apa yang anaknya rasakan, bukan hanya apa yang mereka tonton.

 

Ketika seseorang menunjukkan ketidaksiapan mental untuk membedakan antara fiksi dan realitas, atau ketika mereka menggunakan konten kekerasan sebagai pembenaran atas amarah mereka, itulah saatnya intervensi profesional dibutuhkan. Bukan melarangnya main game.

 

Memang lebih mudah menyalahkan sebuah game daripada mengakui bahwa ada orang di sekitar kita yang gagal kita bantu, yang sinyal bahayanya kita abaikan, atau yang kesehatan mentalnya tidak pernah kita perhatikan.

 

Penyelesaian masalah ini bukan dengan melarang main game. Penyelesaiannya ada di rumah, di sekolah, di ruang konseling, dan dalam obrolan empati yang kita berikan pada orang-orang di sekitar kita.

 

Mari kita fokus pada akarnya, bukan pada bayangannya. Kita perlu lebih berani melihat ke dalam diri si pelaku dan lingkungan terdekatnya, daripada terus menuding layar ponsel. (*)

Lebih baru Lebih lama