Kenapa Saya Nggak Pernah Bisa Bikin Puisi?

ilustrasi puisi

Bikin puisi? Aduh, saya selalu nyerah. Sampai sekarang, saya masih bingung kenapa banyak orang bisa dengan gampangnya merangkai kata jadi sajak yang indah.

 

Buat saya, puisi itu seperti matematika tingkat tinggi. Ada rumusnya, ada maknanya, tapi saya selalu gagal paham. Padahal dulu di sekolah, pelajaran Bahasa Indonesia selalu jadi favorit. Tapi begitu masuk ke pembahasan puisi, rasanya otak saya langsung nge-hang. Enggak ada nyambung-nyambungnya. Teman-teman yang lain sibuk merenung, mencari diksi yang pas, saya malah cuma bisa garuk-garuk kepala.

 

Bukan Enggak Mau, Tapi Enggak Bisa

 

Pernah sih, kemarin mecoba-coba. Waktu itu (dan hingga sekarang) lagi jatuh cinta. Katanya kan, cinta bisa bikin orang jadi puitis. Saya coba duduk manis, tangan di keyboard, niatnya mau nulis puisi buat dia.

 

Diksi yang saya tahu cuma 'cinta', 'hati', 'rindu'. Mau pakai kata-kata lain, rasanya aneh dan maksa banget. Misalnya, "Matamu bagai bintang kejora di langit malam." Kok, ya, cringe banget rasanya. Mendingan langsung bilang, "Kamu cantik banget." Lebih jujur, lebih tulus, dan enggak pakai muter-muter.

 

Mungkin memang ada orang-orang yang diciptakan untuk jadi puitis, dan ada juga yang enggak. Saya ini jelas masuk golongan yang kedua. Bukan karena saya enggak punya perasaan atau enggak peka, tapi memang cara saya mengekspresikan diri itu beda.

 

Saya lebih suka bercerita. Menjelaskan panjang lebar, pakai analogi yang receh, dan banyak ngobrol. Kalau puisi, saya merasa terlalu dibatasi. Terlalu banyak aturan yang enggak tertulis. Harus metafora, harus ini, harus itu.

 

Padahal saya cuma mau ngomong, "Saya lagi senang hari ini." Kenapa harus diubah jadi, "Pelangi di hatiku melukis senyum dari ufuk timur"? Enggak perlu, kan? Cukup, "Saya lagi senang."

 

Puisi itu Seperti Kode Rahasia


puisi
 

Lihat potongan puisi di atas, isinya mirip teka-teki, atau malah kayak daftar kata buat buka wallet Bitcoin. Pembaca harus mikir keras buat tahu maksud si penulis. 

 

Saya sih, maunya yang gampang aja. Yang sekali baca langsung ngerti. Enggak perlu analisis mendalam, enggak perlu cari makna tersembunyi. Kayak baca chat dari teman, langsung tahu maksudnya.

 

Puisi itu kan seharusnya bisa dinikmati semua orang. Tapi kenapa banyak yang kayak sengaja bikin susah? Apa karena biar kelihatan keren, kelihatan cerdas? Entahlah.

 

Contohnya nih, ada satu puisi tentang senja. Isinya puitis banget, pakai kata-kata 'mega merah', 'burung-burung pulang ke sarang', 'bayang-bayang panjang'. Katanya sih, maknanya itu tentang akhir dari sebuah hari, tentang perjalanan hidup.

 

Dalam hati saya cuma bilang, "Ya senja ya senja. Matahari tenggelam, langit jadi oranye. Udah." Saya enggak bisa melihat lebih dari itu. Nah, di situ saya merasa ada gap. Sepertinya saya dan para pujangga itu hidup di dunia yang berbeda.

 

Daripada Puisi, Mending Nulis Ini

 

Dibanding bikin puisi, saya lebih suka nulis blog. Kayak sekarang. Bisa ngobrol sama kamu, bisa curhat, bisa bercanda. Enggak ada batasan jumlah kata, enggak ada paksaan harus pakai diksi yang muluk-muluk.

 

Kalau lagi senang, saya nulis yang lucu-lucu. Kalau lagi sedih, ya nulis yang mellow. Bebas. Saya bisa jadi diri saya sendiri.

 

Puisi itu seperti harus menjadi orang lain. Orang yang lebih melankolis, lebih mendalam, lebih misterius. Padahal, saya ini orangnya transparan banget. Apa yang saya rasakan, ya itu yang saya tunjukin.

 

Puisi itu ibarat makanan gourmet. Mahal, eksklusif, dan enggak semua orang suka. Saya lebih suka makanan street food. Sederhana, merakyat, tapi bikin kenyang dan bahagia.

 

Begitu juga dengan tulisan. Saya lebih suka yang gampang dicerna, gampang dimengerti, dan bisa bikin orang ketawa atau merenung tanpa harus mikir keras.

 

Saya percaya, tulisan itu harus punya tujuan. Tujuannya apa? Ya, untuk berkomunikasi. Kalau komunikasinya aja sudah susah, buat apa?

 

Jadi, kalau kamu tanya kenapa saya enggak bisa nulis puisi, ya karena saya memang enggak tertarik. Ketertarikan itu kan datang dari hati. Kalau hatinya enggak nyampe, ya mau dipaksa juga enggak akan bisa.

 

Saya menghargai teman-teman yang bisa bikin puisi. Saya kagum dengan kemampuan mereka merangkai kata. Tapi buat saya, biarlah puisi itu jadi milik mereka. Saya akan tetap jadi saya, yang lebih suka ngobrol, curhat, dan bercanda lewat tulisan-tulisan yang enggak puitis ini. Dan saya merasa baik-baik saja dengan itu.

Lebih baru Lebih lama