Belakangan ini, warganet ramai membicarakan soal royalti untuk pemutaran suara burung atau suara alam. Banyak yang kaget, bingung, bahkan sampai kesal. Bagaimana bisa suara alam yang kita dengar setiap hari, seperti kicauan burung, gemercik air, atau desiran angin, ternyata ada "pemiliknya" dan harus membayar royalti ketika diputar?
Sebenarnya ini bukan hal baru, lo. Aturan ini sudah ada
sejak 2014, tapi baru sekarang jadi perbincangan hangat.
Kok bisa
begitu? Jawabannya ada di Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta.
Secara spesifik, yang dijadikan dasar bukan suara burungnya, tapi proses
perekaman suara itu sendiri. Jadi, yang dilindungi hukum bukanlah kicauan
burungnya, melainkan rekaman suaranya yang dilakukan oleh manusia.
Siapa sih Produser Fonogram Itu?
Di sinilah
peran produser fonogram menjadi sangat penting. Menurut Ketua Lembaga Manajemen
Kolektif Nasional (LMKN), Dharma Oratmangun, suara burung atau suara alam yang
sudah direkam itu punya hak terkait yang dimiliki oleh produser fonogram.
Mungkin banyak
yang bertanya-tanya, siapa sih produser fonogram itu? Gampangnya, produser
fonogram adalah orang atau badan hukum yang pertama kali merekam dan
bertanggung jawab atas proses perekaman suara, entah itu suara pertunjukan atau
suara lain.
Misalnya, ada
orang yang ke hutan bawa alat rekaman canggih, lalu merekam suara burung-burung
di sana. Setelah itu, dia mengolah hasil rekaman tersebut, seperti mixing dan
mastering, supaya suaranya bagus. Nah, orang inilah yang disebut produser
fonogram.
Hak ekonomi
produser fonogram ini jelas diatur di dalam undang-undang, yang mencakup:
- Penggandaan: Bikin salinan dari rekaman yang sudah ada.
- Pendistribusian: Jual atau menyebarkan rekaman aslinya.
- Penyewaan: Menyewakan salinan rekaman ke publik.
- Penyediaan: Bikin rekaman bisa diakses publik
Jadi meskipun
suara aslinya dari alam, tapi proses di balik rekaman itulah yang dianggap
sebagai karya dan berhak dilindungi.
Kontroversi dan Kritik yang Muncul
Tentu saja, aturan ini enggak berjalan mulus begitu saja. Banyak yang mengkritik kebijakan ini. Menurut mereka, ada beberapa hal yang perlu dipertanyakan:
- Apa Suara Alam
Itu Karya Cipta?
Kritikus mempertanyakan, apakah suara burung, gemercik air terjun, atau desiran angin bisa dianggap sebagai karya cipta? Secara hukum, karya cipta itu harus hasil olah pikir manusia. Suara alam tentu saja bukan.
- Konsekuensi
yang Terlalu Luas
Kalau semua rekaman dianggap punya hak cipta, bagaimana dengan rekaman lain? Misalnya, podcast, berita di TV, atau video YouTube yang merekam suara latar lain. Apa semua itu juga harus bayar royalti?
- Prioritas yang
Kurang Tepat
Banyak yang
beranggapan, lebih baik LMKN fokus menyelesaikan masalah royalti musik yang
lebih mendesak. Sistem royalti musik di Indonesia masih sering dikritik karena
kurang transparan dan pembagiannya dianggap belum adil. Jadi selesaikan masalah
yang lebih besar dulu, baru memikirkan hal lain.
Pembagian Hasil Royalti: Ke Mana Uangnya Pergi?
Berdasarkan
skema pembagian royalti yang berlaku, uang yang terkumpul dari royalti ini
bakal dibagi-bagi. Begini skemanya:
- Maksimal 20% buat biaya operasional LMKN dan Lembaga Manajemen Kolektif (LMK).
- 7% disimpan buat para pencipta, produser, dan pemegang hak lain yang belum gabung LMK.
- Sisa 73%-nya dibagi ke pemilik hak.
Nah, dari sisa
73% ini, pembagiannya begini: 50% buat pencipta lagu/karya, 25% buat
artis/penyanyi (pelaku pertunjukan), dan 25% buat perusahaan rekaman atau
produser fonogram.
Dalam konteks
suara burung atau alam, karena tidak ada "pencipta lagu" dalam arti
tradisional, uang royalti akan mengalir terutama ke produser fonogram yang
melakukan perekaman.
Kalau ada
unsur pertunjukan dalam rekaman tersebut, bisa jadi sebagian kecil akan dibagi
ke pelaku pertunjukan. Namun, sebagian besar akan masuk ke kantong si produser
fonogram.
Payung Hukum Internasional
Indonesia
tidak sendirian dalam menerapkan aturan ini. Kita terikat dengan beberapa
perjanjian internasional yang juga mendukung perlindungan hak terkait. Beberapa
di antaranya:
- Konvensi Bern
- WIPO Performances and Phonograms Treaty (WPPT)
- Agreement on Trade-Related Aspects of Intellectual Property Rights (TRIPS)
Terutama WPPT,
perjanjian ini secara spesifik mengatur perlindungan hak produser fonogram atas
rekaman suara mereka. Ini menjadi landasan hukum internasional untuk klaim
royalti atas rekaman suara alam yang dibuat oleh manusia. Jadi Indonesia punya
dasar yang kuat untuk menerapkan aturan ini.
Kesimpulan
Pada dasarnya,
royalti untuk suara burung atau alam bukan soal suara burung itu sendiri,
melainkan rekaman suara yang dibuat oleh manusia.
Aturan ini
memang membuka perdebatan panjang dan kritik, terutama soal prioritas LMKN dan
definisi "karya" itu sendiri. Namun secara hukum, ada celah yang
memungkinkan hal ini terjadi berkat peran produser fonogram.
Jadi sekarang
kamu tahu kan kenapa suara burung bisa ada royaltinya? Ini bukan soal kicauan
burungnya, tapi soal karya manusia di balik rekaman tersebut.