Kenapa Pria Jadi Model Obat Sakit Kepala?

obat sakit kepala

Coba lihat deh, hampir semua obat sakit kepala yang beredar di Indonesia, misalnya Oskadon, Bodrex, Paramex pasti menggunakan model pria di kemasannya. Biasanya dengan pose "Aduh kepala saya sakit banget nih," lengkap dengan ekspresi menderita.

 

Yang bikin pertanyaan adalah kenapa yang dijadikan modelnya selalu pria? Memangnya perempuan nggak pernah sakit kepala? Atau jangan-jangan sakit kepala perempuan dianggap tidak cukup "dramatis" buat dijual?

 

Padahal faktanya, perempuan lebih sering kena migrain daripada pria. Menurut penelitian, perempuan tiga kali lebih mungkin mengalami migrain. Bahkan, WHO bilang migrain lebih banyak terjadi pada perempuan ketimbang pria.

 

Sebuah studi yang diterbitkan dalam jurnal "Migraine Prevalence in the United States: A Systematic Review" bilang, prevalensi migrain seumur hidup pada perempuan itu sekitar 18%, sementara pria cuma 6%. Jadi kalau kita ngomongin sakit kepala, seharusnya perempuan lebih sering jadi modelnya, bukan?

 

Apa Obat Sakit Kepala Cuma Buat Pria?

 

Sebelum makin curiga, mari kita telaah. Yang namanya sakit kepala itu nggak pilih-pilih korban. Pria, wanita, remaja, sampai kakek-nenek semua bisa kena.

 

Terus kenapa modelnya cowok melulu? Ada beberapa teori, dan ini cuma dugaan, tapi tetap menarik buat dibahas.

 

Teori 1: Simbol Maskulinitas yang Mengundang Perhatian

 

Kita tahu dong, dunia marketing itu seringkali nggak masuk akal. Bisa jadi, produsen obat mikir kalau pria lebih eye-catching buat dijadikan model.

 

Logikanya mungkin begini, pria yang terlihat kuat tapi kemudian jatuh karena sakit kepala dianggap lebih dramatis. Efeknya? Konsumen merasa lebih empati dan akhirnya beli produknya.

 

Sebaliknya, kalau perempuan yang jadi model, mungkin dikhawatirkan bakal terlalu sering dikaitkan dengan stereotip seperti "Ah biasa, perempuan kan suka ngeluh."

 

Padahal ya jelas ini nggak adil. Perempuan juga kuat, kok. Tapi namanya juga strategi marketing, kadang logika digeser demi angka penjualan.

 

Teori 2: Sakit Kepala dan Beban Hidup Pria

 

Kamu pasti sering dengar, "Pria itu kepala keluarga." Tanggung jawabnya besar, beban finansial, pekerjaan, bla bla bla. Stereotip semacam ini bikin pria sering dianggap lebih rentan kena stres, yang ujung-ujungnya sakit kepala.

 

Nah, karena persepsi ini bisa jadi produsen obat mikir, "Udah deh, taruh aja gambar pria. Itu kan relatable."

 

Padahal kalau mau jujur, siapa pun yang lagi berurusan dengan urusan finansial, kerjaan numpuk, atau drama hidup, pasti pernah sakit kepala. Gender nggak ada hubungannya sama rasa nyut-nyutan di kepala.

 

Teori 3: Model Perempuan = Risiko Salah Persepsi

 

Di era digital, apalagi dengan budaya cancel culture, semua hal jadi sensitif. Mungkin produsen obat khawatir kalau gambar perempuan di kemasan bakal dianggap nggak etis.

 

Misalnya, di kemasan obat itu ada foto perempuan dengan tangan di kepala. Mungkin bakal dianggap seperti lagi sedih atau mengalami kekerasan. Intinya mereka nggak mau ambil risiko.

 

Pria, di sisi lain dianggap lebih aman. Kalau ada gambar pria memegang kepala, orang langsung paham, "Oh, dia sakit kepala." Selesai.

 

Stereotip Gender


Industri sepertinya masih terjebak dalam stereotip gender yang tidak ilmiah. Padahal sakit kepala itu nggak pilih-pilih gender. Mau kamu pria atau perempuan, kalau migrain nyerang, rasanya sama aja: kayak ada tukang pahat lagi kerja di dalam kepala.

 

Sakit kepala itu nyata, dan dampaknya bisa lebih parah buat perempuan karena faktor hormonal. Coba deh tanya temen perempuan kamu yang sering migrain. Pasti ceritanya bakal bikin kamu ngeri-ngeri sedap.

 

Jadi kenapa model kemasan obat sakit kepala sering pria? Mungkin karena alasan marketing, stereotip, atau sekadar "biar aman."

Lebih baru Lebih lama