Dikutip dari Kompas.com (6/11/2025), Fasal Hasan (alias Luciano, 50 tahun) menawarkan jasa bikin lagu orisinal dengan bayaran Rp2 juta per lagu. Tapi masalahnya lagu yang dia berikan ternyata bukan hasil ciptaan manual, melainkan dibikin menggunakan AI. Korban merasa dibohongi. Mereka dijanjikan karya asli untuk acara khusus. Saat ini Luciano berstatus buronan polisi.
Melihat kasus ini, pertanyaan yang muncul adalah: apakah kasus ini cuma wanprestasi atau sudah masuk kategori penipuan? Bagaimana status hukum karya yang sepenuhnya dibuat oleh AI di mata hukum Indonesia?
Dilema Karya AI dalam Hukum Hak Cipta
Bimo Prasetio, seorang corporate lawyer, memberikan penjelasannya lewat akun Instagram @bimoprasetio. Menurut dia, Undang-Undang Hak Cipta Nomor 28 Tahun 2014 itu sangat jelas. UU ini secara eksplisit hanya mengakui karya yang diciptakan oleh manusia sebagai objek yang dilindungi hak cipta.
Definisi pencipta dalam UU kita adalah orang atau beberapa orang yang menghasilkan suatu karya yang bersifat khas dan pribadi.
Artinya, karya yang tidak dihasilkan oleh manusia, seperti karya yang 100% dibuat oleh AI, tidak termasuk dalam objek perlindungan hak cipta menurut undang-undang kita.
Kondisi ini menciptakan area abu-abu yang sangat rawan sengketa, apalagi saat AI dipakai dalam proses kreatif:
- Siapa Pencipta Lagunya? Kalau AI yang bikin, secara hukum tidak ada pencipta yang diakui.
- Siapa Pemegang Hak Penggunaan Lagunya? Karena karya AI tidak dilindungi hak cipta, klaim eksklusif atas lagu tersebut menjadi sulit.
- Bagaimana Tanggung Jawab Hukumnya? Misalnya jika lagu AI meniru lagu orang lain, tanggung jawabnya dibebankan kepada pemilik AI atau pihak yang membuat kontrak?
Ketidakjelasan status hak cipta ini adalah kerugian tambahan bagi klien, karena karya yang dibeli tidak punya perlindungan hukum yang kuat.
Panduan Hukum Kontrak di Industri Kreatif
Situasi ini menuntut orang yang berkecimpung di industri kreatif digital untuk lebih teliti menyusun kontrak. Kontrak yang jelas sama dengan perlindungan hukum yang kuat, itulah yang ditekankan oleh Bimo.
Dia menyarankan tiga poin utama yang harus dipastikan ada di setiap kesepakatan proyek kreatif agar tidak terjebak masalah hukum seperti kasus Fasal Hasan:
1. Transparansi Penggunaan Teknologi dalam Kontrak
Kita harus tulis secara eksplisit di kontrak apakah boleh memakai AI atau tidak. Kejelasan ini penting agar tidak ada perbedaan ekspektasi yang bisa berujung pada tuntutan.
2. Pencantuman Metode Produksi dan Pencipta
Kita wajib cantumkan siapa pencipta dan metode produksinya. Ini harus jujur, apakah karya tersebut ciptaan manusia, atau dibantu/dihasilkan oleh AI. Ini sangat penting mengingat status hak cipta AI yang belum diakui.
3. Klausul Pengungkapan Teknologi dan Sanksi Pelanggaran
Perlu menambahkan klausul "pengungkapan teknologi" & "sanksi jika melanggar." Klausul ini menjamin klien tahu persis prosesnya dan memberikan konsekuensi hukum yang tegas kalau ada pihak yang menyembunyikan informasi.
Kalau poin-poin ini diabaikan, ada potensi risiko besar yang akan dihadapi:- Klien bisa menuntut wanprestasi dan kerugian uang.
- Bisa dilaporkan penipuan dan menghadapi proses pidana.
- Karya AI yang dibuat tidak dilindungi hak cipta, jadi tidak bisa diklaim eksklusif.
Pelajaran dari kasus ini jelas: kejujuran dan transparansi dalam setiap kontrak adalah kunci utama untuk melindungi bisnis kreatif dari sengketa dan tuntutan hukum. Selalu konsultasikan perjanjian proyek kamu dengan ahli hukum sebelum ditandatangani. (*)