![]() |
Anggun Piputri Sasongko |
Film. Kata itu mungkin langsung mengingatkan kita pada popcorn, kursi empuk bioskop, box office atau segala sesuatu yang sifatnya menghibur. Tapi bagi Anggun Piputri Sasongko, film adalah senjata paling ampuh untuk mengubah pendidikan.
Anggun melihat
bioskop Indonesia dibanjiri oleh film setan-setanan dan drama dewasa, sementara
film anak-anak yang sarat nilai sangat jarang sekali. Dari keresahan ini, lahir
Sinedu.id (Sinema Edukasi) pada tahun 2017.
![]() |
tampilan sinedu.id |
Ini bukan
sekadar platform streaming biasa. Ini adalah gerakan nirlaba yang berani
melawan arus: minta izin untuk streaming filmnya secara gratis, membongkarnya, dan menyajikannya sebagai materi
belajar yang gratis dan kontekstual.
Anggun, yang
pernah mengajar di sekolah inklusi hingga menjadi pengajar muda di Rote Ndao,
punya satu keyakinan kuat: belajar harusnya menarik, dan cerita adalah kunci
utamanya.
Modul Bukan Sekadar Catatan Kaki
Inovasi utama
Sinedu terletak pada modul pembelajarannya. Modul ini yang menjembatani jurang
antara layar sinema dan buku teks pelajaran yang kaku. Ini adalah produk nyata
yang diberikan secara cuma-cuma kepada guru, siswa, dan orang tua.
Misalnya, film “Jumbo” yang dijadikan objeknya. Setelah menonton, guru atau orangtua tidak hanya bertanya,
"Gimana ceritanya, bagus nggak?" Modul Sinedu melakukan lebih
dari itu:
1. Modul Diskusi: Modul ini berisi panduan pertanyaan kritis. Misalnya, "Pernahkah kamu mengalami atau melihat perundungan di sekitarmu?". Ini memicu penalaran dan empati siswa.
![]() |
modul diskusi (instagram.com/sinedu.id) |
2. Modul Aktivitas: Di sinilah belajar jadi seru. Modul ini bisa meminta siswa membuat cerita pendek menggunakan karakter yang ada di dalam film, atau aktivitas membuat gelembung sabun seperti yang ada dalam adegan antara Don dan Meri.
![]() |
modul aktivitas (instagram.com/sinedu.id) |
Intinya, modul ini adalah cetak biru bagi guru, memastikan proses setelah menonton bukan sekadar mengisi waktu, melainkan merangsang pemikiran, kreativitas, dan koneksi ke mata pelajaran lain, seperti geografi, sejarah, atau budi pekerti.
Gerakan Guru Melek Film
Anggun tahu,
platform online saja tidak cukup. Dibutuhkan agen perubahan di lapangan. Maka
lahirlah program "Guru Melek Film".
Ini adalah
workshop intensif di berbagai kota, bekerja sama dengan mitra pendidikan.
Program ini bertujuan membebaskan guru dari keterikatan mengajar menggunakan
metode lama.
Guru-guru ini
mungkin merasa stuck dengan kurikulum yang itu-itu saja. Sinedu hadir dan berkata:
"Ambil film ini, dan ubah kelas kamu jadi ruang diskusi yang hidup."
Responsnya
sangat mengharukan. Banyak guru merasa program ini memberikan mereka otoritas
kreatif yang hilang. Mereka bukan hanya belajar cara memakai film di kelas,
tapi banyak yang bersemangat sampai ingin belajar membuat film sendiri!
Ini adalah
momen transformasi diri, ketika seorang pendidik menemukan alat baru yang
membuat siswanya kembali antusias.
Guru Melek
Film berfokus pada tiga kompetensi fundamental yang harus dimiliki guru untuk
menjadi penggerak literasi film:
- Kritis: Mampu membedah film dan menghubungkan nilai-nilai di dalamnya dengan mata pelajaran lintas disiplin.
- Apresiatif: Mampu menghargai film sebagai karya seni dan mengajarkan siswa untuk menonton dengan bijak, sesuai etika.
- Kreatif: Mampu merancang, bahkan menciptakan, modul pembelajaran sendiri dari film yang mereka temukan.
Dengan panduan
yang jelas, mulai dari memilih film yang sesuai usia, menetapkan tujuan
belajar, hingga memimpin diskusi sebelum dan sesudah nonton, Sinedu memastikan
film bukan sekadar filler, melainkan instrumen strategis di tangan guru.
Robin Hood Dunia Edukasi: Konflik Lawan Bisnis
Perjalanan Anggun
jauh dari kata mudah. Sinedu adalah entitas nirlaba yang hidup dari donasi,
namun misinya harus berhadapan langsung dengan raksasa industri dalam hal hak
cipta dan lisensi.
Anggun harus
berjuang meyakinkan para sineas yang karyanya sudah terikat kontrak mahal dengan
layanan streaming besar agar mau membagikan filmnya secara gratis demi
kepentingan pendidikan.
Ini bukan
sekadar tantangan; ini adalah pertarungan ideologi: misi sosial melawan
realitas bisnis.
Sinedu berdiri
tegak di tengah konflik ini, didukung oleh semangat para sineas yang peduli
dampak sosial, dan yang terpenting, donasi dari masyarakat yang percaya bahwa
akses pendidikan berkualitas tidak boleh mahal. Keberhasilan Sinedu adalah
bukti bahwa film bisa menjadi kekuatan kolaboratif untuk kebaikan.
Anggun tidak
hanya ingin film untuk ditonton; ia ingin film-film tersebut mengubah anak-anak
dan guru. Dia menutup perjuangannya dengan harapan besar: melihat perfilman
Indonesia kembali melahirkan banyak film keluarga dan anak yang membangun
karakter.
Berkat
dedikasi dan inovasi ini, Anggun Piputri Sasongko telah dianugerahi Apresiasi
Semangat Astra Terpadu Untuk (SATU) Indonesia Awards 2023 di bidang teknologi.
Kisah Anggun
bukan hanya tentang teknologi atau film. Ini adalah tentang seorang perempuan
yang berani menggunakan alat hiburan untuk memerdekakan proses belajar dan
mengembalikan kreativitas ke tangan guru.
Bagaimana
menurut kamu, seberapa besar potensi film dalam mengubah cara belajar di
Indonesia?