Nama program
yang dibanggakan ini adalah Makan Bergizi Gratis (MBG). Tapi kalau yang
disajikan malah bikin keracunan, gimana ceritanya?
Beberapa hari
ini, kita dikejutkan dengan berita tidak sedap: ribuan siswa di seluruh Indonesia
menjadi korban keracunan setelah menyantap makanan yang disediakan dalam program
MBG.
Ini bukan cuma
masalah teknis, ini soal prinsip. Kita ingin anak-anak bangsa sehat, tapi
kenapa justru diberi makan yang berisiko? Kejadian ini membuat saya
bertanya-tanya, apakah nama program MBG masih relevan, atau jangan-jangan,
lebih cocok diganti jadi Makan Bergizi Gratis?
Makanan Basi, dan Sajian Ultra Processed Food
Murid-murid
yang seharusnya semangat belajar, malah lemas dan muntah-muntah. Penyebabnya?
Makanan basi. Ini bukan cuma kesalahan sepele. Ini kegagalan sistematis.
Anak-anak itu,
yang orang tuanya mungkin berharap mereka dapat asupan terbaik di sekolah,
justru menjadi korban kelalaian. Makanan yang seharusnya jadi sumber energi dan
nutrisi, malah berubah jadi racun.
Belum selesai
soal makanan basi, masalah lain muncul. Menu yang disajikan dalam program ini
juga tidak semuanya bergizi.
Ternyata
banyak sajian menu yang berisi ultra processed food seperti sosis, nugget,
keripik, minuman ringan, dan berbagai camilan kemasan. Ini bukan lagi soal
gizi, ini soal kepraktisan yang mengorbankan kualitas.
Menyiapkan
makanan untuk ribuan anak memang bukan perkara mudah. Logistiknya rumit,
biayanya besar. Tapi, apakah solusinya harus mengorbankan gizi anak-anak?
Sosis dan
nugget memang praktis dan disukai anak-anak. Tapi kandungan gizi di dalamnya
sangat minim. Mereka tinggi garam, gula, lemak jenuh, dan berbagai bahan
aditif.
Ini bukan
makanan yang akan membantu anak tumbuh cerdas dan sehat. Ini makanan yang,
dalam jangka panjang, justru berpotensi menimbulkan masalah kesehatan seperti
obesitas, diabetes, atau penyakit jantung.
Program MBG
seharusnya mendidik anak-anak tentang pentingnya makan sehat, bukan malah
membiasakan mereka dengan pola makan yang buruk.
Miskonsepsi Gizi: Lebih Murah, Jadi Boleh?
Ada
miskonsepsi besar di balik ini semua: bahwa makanan sehat itu mahal dan ribet.
Sebaliknya, makanan ultra-olahan dianggap solusi murah dan cepat.
Tentu saja,
membuat nasi hangat dengan lauk sayur dan protein segar seperti ikan atau ayam
jauh lebih merepotkan daripada sekadar menggoreng nugget atau sosis.
Pemerintah
punya anggaran besar untuk program ini. Pertanyaannya, apakah anggaran itu
dialokasikan secara efektif, atau justru sebagian besar habis untuk biaya
logistik, administrasi, dan mungkin saja, 'biaya tidak terduga' lainnya,
sehingga yang tersisa hanya cukup untuk membeli makanan murahan yang tidak
bergizi? Saya tidak menuduh, hanya bertanya. Ini harus jadi perhatian serius.
Kita perlu
menggeser fokus dari sekadar 'memberi makan' menjadi 'memberi makan yang
bergizi'. Jangan hanya sibuk soal kuantitas, tapi lupakan kualitas.
Anak-anak
Indonesia berhak mendapatkan yang terbaik. Mereka butuh karbohidrat kompleks,
protein berkualitas, serat dari sayuran, dan vitamin dari buah-buahan. Bukan
karbohidrat kosong dari nasi basi, protein palsu dari sosis, dan lemak jahat
dari keripik.
Solusi Bukan Sekadar Mimpi: Kita Bisa!
Jadi, apa
solusinya? Pertama, audit menyeluruh. Cek setiap rantai pasok makanan, dari
hulu ke hilir. Pastikan kualitas bahan baku terjamin. Perlu ada tim ahli gizi
yang dilibatkan, bukan cuma tim logistik.
Mereka harus
merancang menu yang seimbang, bervariasi, dan menggunakan bahan-bahan lokal.
Indonesia kaya akan hasil pertanian dan perikanan. Kenapa tidak dimanfaatkan?
Kedua,
edukasi. Program ini bukan cuma soal perut kenyang, tapi juga soal edukasi
gizi. Libatkan guru, orang tua, dan komunitas. Ajarkan anak-anak pentingnya
makan sayur, buah, dan protein yang sehat. Kalau menu yang disajikan sudah
sehat, edukasi akan lebih mudah.
Ketiga,
transparansi. Semua pihak harus bisa memantau. Makanan yang disajikan apa, dari
mana asalnya, dan berapa biayanya. Publik harus diberi akses informasi ini.
Dengan begitu, kemungkinan penyimpangan bisa ditekan.
Kalau program
ini terus berjalan dengan cara yang sama, di mana kasus makanan basi dan menu `junk
food menjadi hal lumrah, saya setuju. Ganti saja namanya. Makan Gratis. Lebih
jujur dan sesuai kenyataan.
Tapi saya
masih punya harapan. Semoga ini menjadi momentum untuk berbenah. Kita semua
ingin anak-anak Indonesia tumbuh sehat, kuat, dan cerdas.