Ketika Kursi Prioritas Jadi Ajang Ego dan Empati

Kursi prioritas

Kursi prioritas transportasi publik seperti TransJakarta atau commuter line itu bukan cuma sekadar kursi biasa. Itu seperti tempat khusus buat mereka yang butuh perhatian lebih: ibu hamil, lansia, penyandang disabilitas, atau orang tua yang bawa anak kecil.

Tapi kalau cuma mengandalkan stiker kecil yang nempel di atas kursi itu, rasanya nggak cukup buat mengatur ego penumpang.

Saya Nggak Perlu Disuruh

Begini, kalau di depan saya ada salah satu yang masuk kategori prioritas itu, saya akan langsung berdiri. Nggak pakai drama, nggak pakai nunggu dia minta atau ditegur orang lain. Simple saja, mereka butuh lebih dari saya, ya silakan duduk.

Bagaimana kalau yang berdiri di depan saya itu ibu saya, adik saya, atau seseorang yang spesial buat saya, ya jelas saya langsung kasih kursi saya. Itu prioritas pribadi.

Nggak ada urusan dengan kursi prioritas versi aturan transportasi umum. Kalau ibu saya berdiri di depan saya sambil pegang tas berat? Masa iya saya cuma duduk santai sambil pura-pura scroll HP? No way.

Bagaimana Kalau yang Berdiri di Depan Saya Adalah Wanita Cantik?

Memberikan kursi ke orang lain jangan dikira semacam "ikhlas universal" yang berlaku buat semua orang.

Sekarang, bagaimana kalau ada wanita cantik berdiri di depan saya? Maaf Tuan Puteri, biarpun mahkotamu berkilau, kursi ini tetap milik saya sampai saya lihat alasan yang lebih kuat atau jika tujuan saya sudah dekat.

Kamu bayar ongkos, saya juga bayar. Kamu capek, saya juga capek. Jadi kalau nggak masuk kategori kursi prioritas atau nggak punya hubungan personal sama saya, ya berdirilah dengan anggun.

Ketika Moralitas dan Realitas Bertemu

Isu kursi prioritas ini sebenarnya bukan sekadar soal sopan santun. Ini tentang bagaimana kita memutuskan siapa yang lebih butuh.

Kalau kamu pernah lihat penumpang pura-pura tidur pas ada ibu hamil berdiri, itu mungkin contoh paling klasik dari moralitas yang kalah oleh egoisme.

Saya pernah lihat satu momen unik. Ada anak muda yang duduk di kursi prioritas, sementara di depannya ada ibu-ibu berdiri. Semua orang ngelirik si anak muda ini kayak "Kok nggak berdiri?" Ternyata dia pakai tongkat, dan baru sadar kalau dia penyandang disabilitas. Sejak itu saya belajar satu hal: nggak semua yang kelihatan kuat itu benar-benar kuat.

Solusi atau Cuma Basa-Basi?

Sekarang, apa solusi buat masalah kursi prioritas ini? Apakah perlu pengumuman lebih sering, atau mungkin petugas khusus buat ngatur siapa yang duduk?

Kalau menurut saya, yang paling penting itu edukasi dan empati. Edukasi biar orang mengerti siapa yang butuh kursi prioritas. Empati biar nggak gampang nge-judge orang lain.

Tapi selama mentalitas "gue juga bayar" masih jadi alibi, edukasi seperti apapun juga akan susah menembus kepala keras sebagian penumpang.

Empati itu butuh latihan. Mulailah dari hal kecil. Contohnya, merasa tidak nyaman kalau lihat orang yang butuh masih berdiri, sementara kamu duduk santai.

Akhirnya, Semua Tergantung Kamu

Apa yang kamu lakukan di kursi prioritas adalah refleksi dari siapa kamu sebagai manusia. Apakah kamu tipe yang pura-pura tidur, atau tipe yang langsung berdiri tanpa diminta?

Tidak ada yang bisa memaksa kamu buat berempati, tapi kalau kamu masih mikir soal "gue juga bayar," coba ingat satu hal: kadang hidup ini bukan tentang siapa yang bayar lebih, tapi siapa yang peduli lebih.

Jadi lain kali kalau kamu lagi duduk di transportasi umum dan lihat ada orang yang jelas butuh kursi lebih dari kamu, ya berdirilah. Kalau nggak buat orang lain, ya setidaknya buat jadi manusia yang lebih baik. Itu kan nggak mahal. Lebih murah dari ongkos TransJakarta, bahkan.

Lebih baru Lebih lama