Kenapa Indonesia Tidak Bisa Mengadopsi Sistem Pendidikan Finlandia

Finlandia

Sistem pendidikan Finlandia telah lama diakui sebagai salah satu yang terbaik di dunia, dengan pendekatan inovatif yang berfokus pada kesejahteraan siswa, kualitas guru, dan kesetaraan akses.

 

Namun upaya Indonesia untuk mengadopsi model ini—seperti melalui Kurikulum Merdeka—menghadapi tantangan kompleks yang bersumber dari perbedaan budaya, infrastruktur, kebijakan, dan sosioekonomi.

 

Artikel ini menganalisis akar penyebab kegagalan tersebut dan mengeksplorasi strategi potensial untuk mengatasinya. 

 

Perbedaan Filosofis dan Budaya dalam Pendidikan 

 

Orientasi Pembelajaran: Hasil vs. Proses 

Finlandia menekankan pembelajaran berbasis pemecahan masalah dan pengembangan keterampilan kritis, dengan guru bertindak sebagai fasilitator.

 

Sebaliknya, sistem pendidikan Indonesia masih didominasi oleh metode ceramah dan fokus pada pencapaian nilai ujian. Misalnya, siswa Indonesia menghabiskan sekitar 40 jam per minggu untuk belajar di kelas dan mengerjakan tugas, sementara di Finlandia hanya 30 jam.

 

Perbedaan ini mencerminkan filosofi yang bertolak belakang: Finlandia memprioritaskan pemahaman konseptual, sedangkan Indonesia terperangkap dalam budaya "ujian nasional" sebagai tolok ukur utama keberhasilan. 

 

Budaya Literasi dan Partisipasi Siswa 

Di Finlandia, membaca merupakan bagian integral dari kehidupan sehari-hari, dengan perpustakaan umum yang mudah diakses dan program literasi sejak usia dini.

 

Sementara itu, minat baca di Indonesia masih rendah—banyak siswa hanya membaca untuk mempersiapkan ujian. Bahkan ada kejadian dimana siswa SMP masih tidak bisa membaca.

 

Studi menunjukkan bahwa partisipasi aktif siswa dalam diskusi di Finlandia mencapai 70% waktu pembelajaran, sementara di Indonesia, partisipasi terbatas pada 20-30% karena dominasi metode satu arah. 

 

Kesenjangan Infrastruktur dan Akses Pendidikan 

 

Ketimpangan Fasilitas Pendidikan 

Finlandia menjamin akses gratis ke pendidikan berkualitas di seluruh wilayah, termasuk transportasi, makan siang, dan teknologi pendukung.

 

Sebaliknya, di Indonesia, 45% sekolah di daerah terpencil dilaporkan kekurangan listrik, 60% tidak memiliki akses internet, dan 30% gedung sekolah dalam kondisi tidak layak.

 

Ketimpangan ini diperparah oleh sistem otonomi daerah yang menyebabkan variasi kualitas pendidikan antarkabupaten. 


Kesenjangan Infrastruktur dan Akses Pendidikan
jaringanpelajaraceh.com

Pembiayaan yang Tidak Merata 

Anggaran pendidikan Finlandia mencapai 6,8% dari PDB dengan alokasi merata untuk semua sekolah. Di Indonesia, meskipun konstitusi menjamin 20% APBN untuk pendidikan, distribusi dana seringkali tidak transparan.

 

Contohnya, dana BOS (Bantuan Operasional Sekolah) kerap terlambat disalurkan, dan 40% sekolah melaporkan ketidakcukupan dana untuk perbaikan infrastruktur dasar.  

 

Kualitas dan Profesionalisme Guru 

 

Rekrutmen dan Pelatihan Guru 

Finlandia mensyaratkan gelar master (S2) untuk menjadi guru, dengan proses seleksi ketat yang hanya menerima 10% pelamar terbaik.

 

Sebaliknya, di Indonesia, kualifikasi minimal guru adalah D4/S1, dengan sistem rekrutmen yang tidak selalu memprioritaskan kompetensi pedagogis.

 

Survei menunjukkan bahwa hanya 35% guru Indonesia yang memahami metode pembelajaran inovatif seperti problem-based learning. 

 

Penghargaan terhadap Profesi Guru 

Guru di Finlandia mendapatkan gaji setara dengan profesi bergengsi lainnya (rata-rata €3.500/bulan) atau sekitar Rp66 juta, dan memiliki otonomi penuh dalam menyusun kurikulum.

 

Di Indonesia, upah guru honorer bisa serendah Rp1,5 juta/bulan, dan 60% guru mengeluhkan beban administratif yang mengurangi waktu interaksi dengan siswa. 

 

Kebijakan Pendidikan yang Tidak Konsisten 

 

Perubahan Kurikulum yang Sering 

Sejak 2000, Indonesia telah mengganti kurikulum 4 kali (KBK, KTSP, K13, Merdeka), sementara Finlandia hanya melakukan 3 revisi kurikulum dalam 50 tahun.

 

Ketidakstabilan ini menyebabkan kebingungan di tingkat sekolah. Misalnya, implementasi Kurikulum Merdeka di 2022 menemui kendala karena 70% guru tidak mendapatkan pelatihan memadai. 

 

Sentralisasi vs. Desentralisasi 

Finlandia mendelegasikan 90% kewenangan kurikulum kepada guru dan sekolah, sedangkan di Indonesia, Kementerian Pendidikan masih mengontrol 80% konten kurikulum. Sentralisasi ini membatasi kreativitas guru dalam menyesuaikan pembelajaran dengan konteks lokal. 

 

Faktor Sosioekonomi dan Politik 

 

Dampak Kemiskinan pada Akses Pendidikan 

Di Finlandia, tingkat kemiskinan anak hanya 3,4%, memungkinkan fokus penuh pada pendidikan.

 

Di Indonesia, 24,5% anak usia sekolah berasal dari keluarga miskin, dengan 15% terpaksa bekerja membantu ekonomi keluarga. Selain itu, 1 dari 5 siswa di daerah terpencil harus berjalan >5 km untuk mencapai sekolah. 

 

siswa di daerah terpencil
antaranews.com

Intervensi Politik dalam Kebijakan 

Perubahan menteri pendidikan yang rata-rata setiap 2 tahun di Indonesia menyebabkan kebijakan cenderung bersifat jangka pendek.

 

Sebaliknya, reformasi pendidikan Finlandia pada 1970-an dirancang dengan visi 30 tahun ke depan, melibatkan seluruh pemangku kepentingan secara konsisten.  

 

Rekomendasi untuk Transformasi Sistem Pendidikan Indonesia 

 

1. Reformasi Rekrutmen dan Pelatihan Guru 

  • Meningkatkan kualifikasi minimum guru menjadi S2 dengan program beasiswa terstruktur. 
  • Mengadopsi sistem teacher residency program ala Finlandia, di mana calon guru magang selama 1 tahun di sekolah mitra. 

 

2. Stabilisasi Kebijakan melalui UU Pendidikan Jangka Panjang 

  • Membuat Rencana Induk Pendidikan 25 tahun yang melibatkan akademisi, praktisi, dan masyarakat sipil. 

 

3. Revitalisasi Infrastruktur Pendidikan 

  • Mengalokasikan 30% dana pendidikan untuk pembangunan fasilitas sekolah di daerah 3T (Terdepan, Terpencil, Tertinggal). 
  • Membentuk kemitraan dengan perusahaan teknologi untuk menyediakan akses internet gratis di 10.000 sekolah per tahun. 

 

4. Transformasi Budaya Belajar 

  • Mengganti UN dengan sistem portofolio kompetensi yang terintegrasi dari SD-SMA. 
  • Meluncurkan gerakan nasional literasi dengan insentif bagi sekolah yang mencapai target membaca 15 buku/siswa/tahun. 

 

5. Desentralisasi Kurikulum 

  • Memberikan otonomi 50% pengembangan kurikulum kepada sekolah, dengan panduan kompetensi inti dari pemerintah pusat. 

 

Kesimpulan 

Kegagalan Indonesia dalam mengadopsi sistem pendidikan Finlandia bukanlah karena ketiadaan niat baik, melainkan akibat perbedaan struktur sosial, ekonomi, dan politik yang mendalam.

 

Transformasi membutuhkan komitmen jangka panjang, alokasi sumber daya terfokus, dan perubahan paradigma dari seluruh pemangku kepentingan.

 

Dengan belajar dari Finlandia tanpa menjiplak mentah-mentah, Indonesia dapat merancang model pendidikan yang kontekstual, inklusif, dan berkelanjutan.

Lebih baru Lebih lama