Electronic Road Pricing dan Ragam Calon Permasalahannya



Rencana Peraturan Daerah atau Raperda mengenai ERP atau Electronic Road Pricing, terus digodok oleh Pemprov DKI bersama DPRD DKI. Jika nanti diberlakukan, ini artinya setiap kendaraan yang melintas di 25 titik jalan yang sudah ditentukan di Jakarta harus membayar mulai dari Rp5.000 sampai Rp19.000.


Namun hingga saat ini belum dijelaskan bagaimana cara kerja ERP dan apa saja yang dibutuhkan. Sebagai gambaran, saya akan menjelaskan cara kerja ERP yang dipakai di negara tetangga kita Singapura, yang sudah menerapkan ERP sejak 1998.

Bisa jadi sistem yang diterapkan di Singapura, nantinya juga akan dipakai di Jakarta. Jika seandainya jadi, masalah apa saja yang akan timbul dari penerapan ERP ini?

Cara kerja ERP

Di jalan-jalan yang menerapkan ERP, dipasang semacam struktur seperti gapura yang dilengkapi dengan sensor elektronik dan kamera. Sensor itu nanti akan berkomunikasi secara nirkabel dengan In-Vehicle Unit (IU) yang berada di setiap kendaraan.

IU ini bentuknya sekilas seperti mesin EDC (Electronic Data Capture) yang biasa dipakai buat gesek kartu ATM saat melakukan pembelian di toko. Penggunaan IU juga sama, yakni harus dimasukkan kartu yang berisi sejumlah saldo, mirip e-money. Begitu kendaraan melintasi sensor ERP, saldonya akan langsung terpotong.

Sementara kamera berfungsi untuk memotret pelat nomor kendaraan yang melintas. Hal ini berguna agar pihak berwenang bisa mengidentifikasi pengendara yang melintas jalur ERP tanpa membayar.

ERP In-Vehicle Unit

Permasalahan yang sering muncul

Sama seperti saat membayar e-toll di Indonesia, di Singapura sana permasalahan yang paling sering saat melintasi ERP juga sama. Pertama, tidak bawa kartunya. Kedua, bawa kartunya tapi saldonya kurang atau tidak ada sama sekali. Ketiga, perangkat IU-nya bermasalah. Kalau sudah begini, pasti ujung-ujungnya kena denda.


Masalah yang terjadi jika ERP diterapkan di Jakarta

Menurut data Badan Pusat Statistik Provinsi DKI Jakarta, di 2021 saja ada 4,1 juta mobil penumpang dan 16,5 juta sepeda motor. Seperti sudah dijelaskan di atas, perangkat IU harus dipasang di setiap kendaraan. Nah apakah IU tersebut akan dibagikan gratis oleh pemerintah atau pemilik kendaraan harus membelinya secara pribadi?

Mengutip dari motorist.sg, di Singapura perangkat IU ini harus dibeli sendiri oleh pemilik kendaraan. Pada 2020, harga satu unit IU di sana sekitar S$155 atau sekitar Rp1.766.000. Bayangkan, sudah harus bayar ekstra, alatnya juga harus beli sendiri. Tentu ini akan menuai protes dari para pengguna jalan.

Jika pun seandainya alat ini diberikan gratis oleh pemerintah, berapa banyak anggaran yang harus dihabiskan untuk membeli lebih dari 20 juta unit IU?

Belum lagi jika ada pengguna jalan yang harus melintasi jalan ber-ERP lebih dari sekali dalam sehari. Bagi kalangan ekonomi atas tentu tidak masalah. Tapi bagaimana dengan para ojek online, kurir, atau pengguna jalan lainnya yang ekonominya masih pas-pasan? Biaya operasional harian akan semakin bertambah sementara gaji naiknya susah.

Yang lebih bikin sebel lagi, sudah lewat jalan ERP tapi masih ketemu macet juga. Rugi dong sudah bayar.

Akan ada cara buat diakali

Masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang “cerdik”. Tiap ada peraturan atau sistem, pasti akan menemukan celahnya. Contohnya, pada zaman 3 in 1 ada para joki di pinggir jalan yang siap membantu. Saat ganjil genap, ada yang rela beli dua kendaraan dengan nomor pelat ganjil dan satunya genap. Bahkan ada yang berani pakai pelat palsu.

Sebaiknya ERP tidak diterapkan dulu

Meski di Jakarta sudah ada Commuter Line, TransJakarta, MRT, JakLingko, dan LRT yang akan datang, coba tanya ke warga Jakarta apakah mereka sudah puas dengan kualitas transportasi umum? Jawabannya pasti mayoritas belum puas, terutama untuk TransJakarta. Waktu tunggu yang lama, berdesak-desakan di dalam bus, dan waktu tempuh yang lebih panjang, kerap jadi alasan warga lebih memilih menggunakan kendaraan pribadi.

Di Singapura pun yang sudah lama menerapkan ERP, warganya masih tidak menyukai dengan peraturan ini. Mereka menganggapnya sebagai sistem penyedot uang. Malah ada guyonan yang mengatakan kalau ERP itu singkatan dari “Every Road Pay”, “Everything Really Pricey”, dan “Everyday Rob People”.

Sebagai warga Jakarta yang bukan dari kalangan atas, saya berharap ERP tidak diterapkan dulu atau tidak diterapkan sama sekali. Mengingat masyarakat baru saja membangun kembali kehidupan mereka setelah dihantam COVID. Belum lagi katanya tahun ini ada ancaman resesi yang bisa membuat harga-harga naik dan PHK makin marak.
Lebih baru Lebih lama