Kemarin saya melihat sebuah lowongan pekerjaan untuk jabatan "Content
Writer." Tapi saya mengucek mata tiga kali sebab, daftar tanggung jawab di bawahnya itu,
aduhai, bukan deskripsi pekerjaan; itu adalah daftar skill
untuk seluruh agensi pemasaran!
Coba kita
bedah sedikit tanggung jawab yang mereka mau dari satu orang ini:
- Menulis blog kualitas tinggi. (Ini Content Writer.)
- Membuat grafis buat media sosial (pakai Canva/Photoshop). (Ini Graphic Designer.)
- Mengelola komunitas dan membalas komentar. (Ini Community Manager.)
- Melakukan SEO teknis dan riset kata kunci. (Ini SEO Specialist.)
- Membangun strategi konten bulanan. (Ini Content Strategist.)
Luar biasa,
kan? Mereka tidak mencari karyawan. Mereka mencari Batman,
tapi dengan gaji Robin.
Mitos "Multitasking" dan Realitasnya yang Membakar
Di perusahaan,
tren ini sering disebut "multitasking" atau "cross-functional."
Kedengarannya keren, seolah-olah kita ini lincah dan serba bisa. Tetapi ttu bukan multitasking; itu adalah usaha perusahaan
untuk membayar satu gaji tetapi mendapatkan output dari tiga sampai lima orang
profesional.
Perusahaan
berharap dengan memaksa satu orang melakukan lima pekerjaan berbeda, mereka
akan mendapat hasil lima kali lipat. Sayangnya, hasilnya justru terbalik. Yang
mereka dapatkan adalah:
- Karyawan yang Kelelahan: Mustahil untuk ahli dalam lima bidang sekaligus. Waktu dan energi kita terbatas.
- Hasil yang Biasa-Biasa Saja: Saat kamu membagi fokus, tidak ada satu pun pekerjaan yang bisa disentuh dengan kedalaman maksimal. Tulisan akan terasa terburu-buru, desainnya standar, dan riset SEO-nya dangkal.
Dalam dunia profesional, ada spesialisasi karena alasan yang kuat.
- Penulis ya tugasnya menulis. Mereka menghabiskan waktu bertahun-tahun untuk mengasah kemampuan bercerita, menyusun kalimat yang efektif, dan memilih kata yang tepat.
- Desainer, tugasnya mendesain. Mereka menguasai teori warna, layout, dan visual storytelling.
- Content strategist, tugasnya merencanakan. Mereka membaca data, memetakan pasar, dan menyusun peta jalan.
Kalau kamu
ingin seseorang bisa melakukan semuanya dengan sempurna,
siapkan diri untuk membayar gaji yang jauh
di atas UMR.
Karena "unicorn" seperti itu, apalagi yang kualitasnya prima, bayarannya tentu fantastis.
Ketika Nilai Penulis Sulit Diukur
Ini membawa
kita pada pertanyaan yang mendasar: Mengapa tren ini menjamur?
Saya punya
keyakinan, ini ada hubungannya dengan cara kerja dan cara pandang terhadap
peran Content Writer di ruang marketing modern.
Secara
historis, peran penulis sering dianggap lebih sulit diukur nilainya
dibandingkan, misalnya, Paid Ads Specialist yang bisa menunjukkan ROI (Return
on Investment) secara instan.
Penulis
menghasilkan brand awareness, thought leadership, dan trust. Kontribusi semacam
ini nilainya sangat penting, tetapi sifatnya lebih nuansa dan butuh waktu lama
untuk membuahkan hasil.
Saat
perusahaan tertekan untuk menunjukkan kinerja cepat dalam tenggat waktu yang
irasional, mereka cenderung mencari peran yang "hemat biaya" dan
"serba bisa" demi menutupi semua basis.
Ini juga
diperparah oleh pembicaraan tentang "upskilling" yang didorong oleh
ketakutan akan AI. Banyak yang berpikir, "Karena AI bisa menulis, penulis
harus 'upskill' dan bisa desain, SEO, dan lain-lain agar relevan."
Saya pribadi
merasa, ini adalah respons yang didorong oleh kepanikan, bukan strategi cerdas.
Fokus kita
seharusnya bukan pada ketakutan terhadap AI atau tren pasar. Fokus kita
harusnya adalah menciptakan sesuatu yang bernilai tinggi.
Value addition
atau penambahan nilai sejati itu terlalu berbobot untuk diukur dalam tenggat
waktu yang pendek atau hanya dilihat dari kuantitas peran yang diemban.
Perusahaan
yang menghormati spesialisasi akan mendapatkan kualitas kerja yang lebih baik
dan karyawan yang lebih sehat.
Pesan saya
sederhana: Hormati peran itu. Kalau kamu mau tulisan yang tajam dan berdampak, biarkan
penulis menulis. Mereka adalah pilar dari komunikasi brand yang otentik. (*)
