IOC yang Katanya Netral, tapi Kenyataannya Tidak Netral-Netral Amat

Olahraga Tanpa Politik, Katanya

 

Rule 50 dalam Piagam Olimpiade terdengar mulia di atas kertas. Aturannya jelas: jangan ada demonstrasi politik, agama, atau ras di arena olahraga. Semua demi menjaga semangat persatuan dan fokus pada sportivitas.

 

Kedengarannya bersih dan indah. Tapi praktiknya, ternyata “netralitas” ini bisa sangat tergantung siapa yang melanggar, dan siapa yang diuntungkan.

 

Aturan ini seperti wasit yang bilang akan adil ke semua tim, tapi peluitnya hanya ditiup kalau satu pihak melakukan pelanggaran. Sementara tim lain bebas main kasar asal punya “alasan diplomatik”.

 

Kasus Indonesia dan Israel

 

Ketika Indonesia menolak memberi visa untuk atlet Israel dalam Kejuaraan Dunia Senam 2025, alasan yang digunakan pemerintah cukup konsisten: posisi politik luar negeri Indonesia yang tidak membuka hubungan diplomatik dengan Israel sebelum Palestina diakui.

 

Sebuah sikap politik, iya. Tapi bukan sesuatu yang baru. Semua orang tahu itu sejak lama.

 

Namun reaksi IOC luar biasa cepat. Mereka langsung “menyarankan” agar semua federasi internasional tidak menggelar event olahraga di Indonesia. Satu negara, satu keputusan politik, langsung dihukum secara sistemik.

 

Kenapa Indonesia malah kena semacam sanksi diplomatik olahraga hanya karena mengikuti kebijakan luar negerinya sendiri?

 

Rusia dan Belarus Langsung Dilarang

 

Lain cerita dengan Rusia dan Belarus. Setelah invasi ke Ukraina, IOC langsung bertindak tegas. Kedua negara dilarang ikut Olimpiade Paris 2024 sebagai “negara”.

 

Atletnya tetap boleh tampil, tapi tanpa bendera, tanpa lagu kebangsaan, tanpa kebanggaan nasional. Mereka diberi label Individual Neutral Athletes.

 

Menariknya, ketika Israel melakukan agresi dan genosida terhadap Palestina, sikap IOC lebih lembut. Tidak ada wacana netralisasi atlet Israel, tidak ada sanksi negara, tidak ada pelabelan khusus. Semua berjalan seperti biasa seolah tidak ada genosida, tidak ada blokade, tidak ada penderitaan yang sedang terjadi.

 

Dua Timbangan, Satu Aturan

 

Di sinilah terlihat betapa fleksibelnya “aturan netralitas” itu. Bisa lentur, bisa keras, tergantung arah angin politik global. Jika Rusia disanksi IOC karena dianggap pelaku agresi, kenapa Israel tidak?

 

Kalau memang IOC ingin olahraga tetap bersih dari politik, seharusnya semua negara diperlakukan sama. Tapi yang terjadi justru sebaliknya: beberapa negara boleh membawa “beban politik” mereka tanpa konsekuensi, sementara negara lain dihukum atas alasan yang sama.

 

Mungkin inilah bentuk politik tingkat Olimpiade. Tidak perlu rapat parlemen, cukup lewat konferensi pers IOC, keputusan sudah berubah jadi dogma moral.

 

Olahraga Adalah Tempat Netral yang Tidak Pernah Benar-Benar Netral

 

Sulit membayangkan olahraga benar-benar steril dari politik. Atlet bertanding membawa bendera, lagu kebangsaan, bahkan kebanggaan nasional.

 

Penonton bersorak bukan hanya untuk kehebatan teknik, tapi juga simbol negara mereka. Di titik itu saja, olahraga sudah politis sejak awal.

 

IOC mungkin bermaksud baik, menjaga semangat sportivitas dan persatuan. Tapi dengan cara menegakkan aturan yang tidak konsisten, pesan itu kehilangan makna. Aturan seharusnya menegakkan keadilan, bukan menunjukkan siapa yang lebih berkuasa.

 

Lucunya, mereka ingin dunia percaya bahwa olahraga bisa mempersatukan manusia, sementara keputusan mereka justru menunjukkan perbedaan siapa yang boleh “netral” dan siapa yang tidak.

 

Netralitas Seadanya

 

Netralitas dalam olahraga tampaknya hanya berlaku ketika tidak mengganggu kepentingan besar. Ketika keputusan politik bertabrakan dengan kepentingan ekonomi, diplomasi, atau kekuasaan, prinsip itu mendadak lentur.

 

Rule 50 bukan lagi pagar, tapi semacam alat seleksi, bisa jadi tameng, bisa jadi senjata. Semua tergantung siapa yang memegangnya. Kalau bicara soal keadilan, sepertinya IOC perlu belajar lagi arti dari kata “netral”. (*)

Lebih baru Lebih lama