Ketika mendengar wacana bahwa setiap orang di Indonesia hanya boleh punya satu akun media sosial, reaksi pertama saya bukan sekadar kaget, tapi lebih ke mempertanyakan: apa benar cara ini bakal efektif memberantas penipuan dan hoaks?
Harapan di Balik Usulan
Sekretaris
Fraksi Gerindra DPR, Bambang Haryadi, melempar usulan ini dengan alasan yang
cukup masuk akal di permukaan. Menurutnya, medsos sekarang terlalu bebas, akun
palsu bertebaran, dan sulit membedakan mana isu asli, mana manipulasi. Kalau
tiap orang hanya boleh punya satu akun yang terhubung langsung dengan identitas
resmi, penipuan bisa ditekan, hoaks lebih mudah dilacak, dan pengawasan digital
lebih rapi.
Wamenkomdigi
Nezar Patria pun menegaskan bahwa pemerintah sedang mengkaji usulan tersebut,
dikaitkan dengan program Satu Data Indonesia. Tujuannya jelas: membuat ruang
digital lebih bersih dan aman.
Belajar dari Pengalaman Sebelumnya
Indonesia
bukan pertama kali mencoba menghubungkan identitas resmi dengan aktivitas
digital. Registrasi kartu SIM menggunakan NIK dan KK beberapa tahun lalu adalah
contoh nyata.
Secara
administratif bisa dijalankan, tapi dalam praktiknya banyak juga data yang
disalahgunakan. Kasus kebocoran data pribadi makin sering terdengar. Ini
mengingatkan saya bahwa niat baik tidak selalu berbanding lurus dengan hasil di
lapangan.
Kalau program
satu akun satu orang diterapkan, risikonya makin besar. Semua akun medsos akan
terkait langsung dengan data kependudukan. Begitu ada kebocoran, dampaknya bisa
luas dan sulit dikendalikan.
Risiko yang Terlalu Sering Dilupakan
Saya melihat ada beberapa titik buta yang mungkin tidak langsung terlihat:
- Dampak ke kebebasan berekspresi. Banyak orang butuh akun anonim demi keamanan. Misalnya jurnalis investigasi, korban kekerasan, atau aktivis yang ingin bersuara tanpa takut ditekan. Kalau aturan ini berlaku kaku, mereka bisa kehilangan ruang aman.
- Ketimpangan akses. Tidak semua orang punya akses identitas resmi yang rapi. Imigran, masyarakat adat, atau warga di daerah terpencil sering kesulitan mengurus dokumen kependudukan. Kalau akun medsos harus pakai verifikasi identitas tunggal, kelompok ini justru bisa makin terpinggirkan.
- Solusi yang bisa ditembus. Orang yang berniat jahat selalu lebih cepat mencari jalan keluar. Akun palsu bisa tetap muncul lewat identitas curian atau lewat platform luar negeri. Artinya, masalah penipuan dan hoaks tidak serta-merta hilang hanya karena ada regulasi.
- Beban pengawasan berlebih. Pemerintah jadi punya “kunci master” untuk melacak semua percakapan digital. Tanpa pengawasan independen, hal ini berpotensi disalahgunakan untuk kepentingan politik.
Alternatif yang Lebih Realistis
Daripada
memaksa semua orang punya satu akun, ada opsi lain yang menurut saya lebih
masuk akal. Misalnya, sistem verifikasi berlapis. Akun biasa tetap bisa anonim,
tapi kalau akun itu mau menjangkau publik luas atau menghasilkan uang, baru
diwajibkan verifikasi ketat. Cara ini lebih seimbang, tidak memukul rata semua
orang, dan tetap memberi ruang aman bagi yang butuh anonimitas.
Selain itu,
yang lebih penting justru memperkuat literasi digital. Hoaks bisa menyebar
bukan semata karena akun palsu, tapi karena masyarakat mudah percaya tanpa
verifikasi. Investasi di pendidikan digital akan lebih berjangka panjang
ketimbang sekadar membuat aturan baru.
Apa yang Perlu Dituntut dari Pemerintah
Kalau usulan ini terus dikaji, ada hal-hal yang sebaiknya diperjuangkan:
- Uji coba terbatas. Jangan langsung nasional, tapi lakukan pilot project yang bisa dievaluasi terbuka.
- Ada perlindungan jelas soal siapa yang boleh akses data, berapa lama disimpan, dan apa konsekuensinya kalau bocor.
- Transparansi publik. Rakyat berhak tahu risiko, biaya, dan manfaat nyata dari kebijakan ini.
- Pengecualian yang adil. Akun komunitas, organisasi, atau kelompok rentan harus punya perlakuan khusus.
Jangan Tergesa-gesa
Saya tidak
menolak gagasan ini mentah-mentah. Memang benar, ruang digital kita butuh lebih
banyak pengawasan. Tapi membatasi semua orang hanya punya satu akun medsos
bukan jawaban instan. Efektivitasnya belum terbukti, risikonya sangat besar,
dan jalannya penuh jebakan.
Kalau tujuan
akhirnya adalah melindungi masyarakat dari penipuan dan hoaks, jangan sampai
caranya justru merampas hak yang lebih mendasar: kebebasan berekspresi dan
keamanan data pribadi.