Kuliah Tidak Wajib? Benar, Tapi Kenyataannya Berbeda di Indonesia

kuliah

Pernyataan Plt. Sekretaris Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Tjitjik Sri Tjahjandarie, soal "pendidikan tinggi adalah tertiary education", langsung memantik obrolan panas di mana-mana. Saya melihat perdebatan ini bukan hanya soal definisi, tapi jauh lebih dalam, yaitu tentang nilai riil dari selembar ijazah di tengah realita kerja Indonesia yang keras.

 

Mitos Miliarder Dropout

 

Bill Gates, Steve Jobs, atau Mark Zuckerberg adalah para raksasa teknologi yang sukses tanpa menyelesaikan kuliah. Kisah mereka sering sekali dijadikan "mantra" bahwa ijazah itu sebetulnya tidak wajib-wajib amat. Toh, mereka bisa jadi orang paling sukses/terkaya di planet ini hanya modal tekad baja, kerja keras gila, dan ide-ide yang benar-benar out of the box.

 

Poinnya begini: sukses itu memang tidak pernah punya cetak biru tunggal. Kejeniusan, kreativitas, dan kemampuan melihat peluang yang tidak dilihat orang lain, itu jauh lebih mahal dari sekadar nilai A di transkrip.

 

Saya pribadi percaya, kalau kamu punya skill yang benar-benar dicari pasar, perusahaan akan datang mengetuk pintu, gelar sarjana itu urusan nomor sekian.

 

Kenyataannya di Dunia Kerja Indonesia

 

Namun, mari kita menarik napas dan kembali ke bumi Indonesia.

 

Faktanya, saat saya dulu ikut proses rekrutmen atau melihat teman-teman melamar pekerjaan, ya ampun, ijazah sarjana itu memang masih jadi gerbang tol utama.

 

HRD di Indonesia itu berhadapan dengan tumpukan lamaran yang gila-gilaan banyaknya. Bagaimana cara paling cepat untuk menyaring mereka? Tentu saja dengan batasan formal: harus lulusan S1.

 

Ini bukan karena perusahaan jahat atau diskriminatif. Ini lebih ke soal efisiensi proses. Ijazah, bagi mereka adalah indikator praktis bahwa pelamar ini sudah menyelesaikan pendidikan formal dengan standar minimum.

 

Itu menunjukkan komitmen, kedisiplinan, dan kemampuan untuk menyelesaikan sebuah program jangka panjang. Sederhananya, ijazah adalah bukti selesai.

 

Ketika perusahaan mencari 10 karyawan dari ribuan pelamar, ijazah menjadi semacam "tanda lolos kualifikasi minimum." Itu adalah alat screening yang paling mudah dan cepat untuk mempermudah seleksi. Saya tidak bilang ini sempurna, tapi ini adalah realitas pragmatis yang terjadi sehari-hari.

 

Nilai Lebih dari Sekadar Kertas

 

Penting untuk kita ingat, pendidikan tinggi itu jauh lebih besar daripada sekadar selembar kertas bertuliskan gelar.

 

Menurut saya, nilai sesungguhnya dari bangku kuliah adalah proses pembentukan pola pikir. Di sana, kita diajarkan untuk mengembangkan pemikiran kritis. Kita belajar cara memecahkan masalah yang kompleks, tidak hanya sekadar menghafal rumus. Kitaa dilatih untuk berkomunikasi secara terstruktur, baik lisan maupun tulisan.

 

Kemampuan-kemampuan soft skill ini (berlogika, berdiskusi, presentasi) itu yang benar-benar dibutuhkan di dunia kerja, apa pun industrinya.

 

Lulusan sekolah menengah yang sukses pasti sudah menguasai kemampuan-kemampuan ini melalui jalan lain, mungkin melalui bisnis kecil-kecilan, pengalaman organisasi, atau kursus intensif. Intinya sama: pengembangan diri adalah kuncinya, dan kampus hanyalah salah satu platform untuk mencapainya.

 

Ijazah itu mungkin tiket masuk, tapi yang membuat kamu bertahan dan menanjak adalah kemampuan dan etos kerja kamu.

 

Mari Ubah Mindset Kita

 

Jika kita ingin sukses, baik sebagai lulusan sarjana maupun lulusan sekolah menengah, kita perlu mendorong perubahan mindset di Indonesia.

 

Untuk Perusahaan

Saya harap perusahaan semakin terbuka. Fokuslah pada uji kompetensi dan portofolio, bukan hanya sekadar melihat kolom pendidikan di CV. Saya rasa saatnya perusahaan mulai menerima pelamar dengan latar belakang berbeda, asalkan mereka bisa membuktikan kemampuan riil mereka. Skill itu jauh lebih berharga daripada status formal.

 

Untuk Lulusan Sekolah Menengah

Jangan pernah berhenti belajar! Jalan menuju sukses tidak tertutup hanya karena kamu tidak kuliah. Teruslah berinovasi, tingkatkan keterampilan teknis, dan bangun jaringan yang kuat.

 

Tunjukkan kepada calon pemberi kerja bahwa kamu memiliki etos kerja yang kuat dan mampu memberikan nilai tambah yang konkret. Kemampuan dan potensi individu itu adalah aset terkuat, terlepas dari apa pun latar belakang pendidikannya.


Kesimpulan


Pada akhirnya, kesuksesan di dunia kerja itu adalah akumulasi dari banyak faktor: pengalaman yang relevan, skill yang tajam, kemampuan interpersonal, dan tentu saja, etos kerja yang tidak kenal lelah.

 

Pendidikan tinggi adalah tertiary education, ya. Tapi mari kita pastikan bahwa definisi itu tidak menghapus nilai penting dari pengembangan diri berkelanjutan, baik di dalam maupun di luar kampus. Yang paling penting adalah: terus maju, terus belajar, dan terus membuktikan diri. (*)

Lebih baru Lebih lama